Tuesday, June 22, 2010

Delay Bersama Asmiranda Mini



Akhir-akhir ini rasa malas untuk menulis semakin menjadi. Entah itu banyak ide atau sedikit ide menulis rasanya tak ada gairah. Jika ad aide muncul, saya hanya mencatat ide pokoknya saja kemudian menyimpannya dalam folder bernama Bank of Ideas. Dengan alasan bahwa ide yang diendapkan akan lebih bagus jika dikeluarkan pada suatu hari. Seperti orang bilang, wine yang disimpan dalam kotak kayu dalam jangka waktu tahunan atau seperti rokok kretek yang kualitasnya akan lebih bagus jika disimpan untuk waktu yang lama. Kira-kira begitulah analogi yang saya anut berkanaan dengan ide yang ditimbun.

Satu-dua hari bukan masalah jika tak menulis. Tapi akan menjadi masalah jika terlalu lama tidak menulis. Masalahnya, saya terlalu lama tidak menulis. Mungkin untuk beberapa minggu. Banyak alasan, tapi alasan yang paling utama adalah malas. Ada juga alasan lain yaitu saya harus menulis untuk yanhg lain. Ya, menulis laporan magang kemudian lanjut pengajuan judul skripsi. Walaupun menulis, saya merasa tidak mendapat soul atau intisari dari sebuah laporan magang karena hanya melaporkan pekerjaan selama magang dengan berbagai macam batasan yang rigid seperti pendahuluan, landasan teori, bla…bla…bla…

Dalam menulis, saya cenderung antiklimaks. Ketika telah mencapai apa yang diinginkan bukan tambah semangat tapi malah terjebak pada rasa puas diri. Merasa tulisan saya sudah bagus dan tak perlu membuat tulisan lagi. Seolah-olah karya saya sudah menjadi masterpiece yang melegenda. Padahal kenyataannya tidak seperti itu.

Untuk menstimulus menulis, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Namun untuk saat ini saya ingin menulis tentang sesuatu yang tidak bisa didefinisikan. hal itu selalu membuat saya terusik karena pada dasarnya sesuatu tersebut butuh sebuah tempat bernama ungkapan. And you know what?

#LOVE#

Tidak, saya tidak sedang jatuh cinta. Ada beberapa fragmen dalam hidup orang lain yang ingin saya ceritakan. Mozaik yang harus utuh dengan hadirnya cerita cinta. Kelak anak-cucunya—juga anak-cucu saya—akan mengerti #peribahasa gagal# yang berbunyi: Single itu prinsip, jomblo itu nasib :D

Bandung, 20 November 2009

Message: Kami beritahukan kepada penumpang AA flight number QZ 7951 tujuan Bandung-Singapura bahwa pesawat akan mengalami delay selama satu jam. Mohon maaf atas keterlambatan ini. Terima kasih.

Ketika seorang pria dewasa akan berangkat ke tempat yang jauh, kira-kira siapakah yang paling sibuk? Jawabannya orang tua. Sebelum hari H keberangkatan, ibu selalu mengingatkan saya untuk tidak lupa membawa peralatan mandi, makanan, baju, dan lain-lain. Bahkan mau repot membelikan souvenir khas Jogja khusus untuk teman-teman yang ikut conference. Well, begitulah seorang ibu.

Flight schedule seharusnya jam 11.05 WIB, tapi karena delay schedule-nya berubah menjadi jam 12.05 WIB—waktu Indonesia banget. Saya maklum, ZP—temen yang bakal berangkat bareng ke Singapura—juga maklum. Kami berdua memaklumi untuk dimaklumi—sebagai penulis saya juga bingung dengan kalimat ini.

Babeh: Di Singapura nginep dimana Ki?
Saya: Di sodaranya ZP
Babeh: Daerah mana?
Saya: Mmm…nggak tau pak hehe...
Babeh: …???

Selain merepotkan, anak biasanya selalu membuat orang tua khawatir dan cemas. Sampai hari H keberangkatan saya sendiri tak tahu harus menginap dimana ketika nanti tiba di Singapura. Yang saya tahu ZP punya sodara di sana. titik. Masalah sodaranya tinggal dimana, jalan apa, daerahnya dimana, saya serahkan pada ZP.

Masalahnya…
Saya: ZP, sodara kamu teh tinggal dimana di Singapuranya?
ZP: Mmm…gak tau saya juga. Coba aja nih baca hasil chatting saya sama sodara via YM
Saya: …???

Saya ambil tiga lembar kertas di tangannya. Di situ ada hasil chatting yang di-print. Di lembar berikutnya ada denah lokasi tempat tinggal sodaranya yang di Singapur. Mungkin karena resolusinya jelek, hasil print peta tersebut tidak begitu jelas. Saya hanya tahu bahwa sodaranya tinggal di sebuah tempat bernama Ang Mo Kio. Walaupun Singapur termasuk Negara yang kecil, tersesat di negeri orang bukanlah ide bagus. Dan saat ini, sadar atau tidak, kami berdua sedang menempatkan diri dalam posisi ‘siap tersesat dan disesatkan’.

Tak ada pilihan lain. Kami berdua pilih modal nekad saja.

Di Bandara…

Setidaknya kami tahu mengapa pesawat kali ini harus delay. Faktor cuaca yang tidak menentu membuat kami semua tertahan di bandara. Hujan disertai angin kencang tak henti-hentinya turun. Jam sudah menunjukkan pukul 12.05 dan di luar masih hujan. Belum ada kepastian kapan kami semua bisa berangkat dengan kondisi seperti ini. Saya menunggu dengan harap, bahwa hujan akan segera reda. Begitu juga penumpang yang lain.

CTTAAAARRRR!!!

Petir menyambar, tepat saat mata saya menatap seorang gadis (sinetron pun tak pernah sebegini dramatis).

Aih, cantik nian gadis itu. Dengan rambut sebahu dibalut t-shirt warna pink. Dia sedang asyik memainkan Blackberry, nampaknya sedang update status. Sesekali dia menatap keluar memerhatikan hujan kemudian asyik kembali menatap layar handphone. Wajahnya amboy rupawan. Kesimpulan sementara saya, delay ini sudah diatur oleh yang Di Atas. Kita berdua sudah ditakdirkan untuk bertemu—ok..ok..ngarep emang.

Kehadiran gadis rupawan ini ternyata ‘terendus’ pula oleh ZP. Setelah beberapa saat memerhatikan, tiba-tiba ZP berkata, “Ky, arah jam 2. Check it out!”

Ya, saudara-saudara ternyata kalau masalah beginian cepet banget nyambungnya. Waktu kecil saya sering menyaksikan iklan atau drama yang berkisah tentang wanita dan pria yang bertemu di bandara atau di pesawat. Dimulai dari obrolan basa-basi-bisu kemudian lanjut ke masalah personal dan berlanjut lagi pada sebuah hubungan. Itulah yang ada di benak saya saat ini, sambil menerka-nerka kemungkinan ke arah itu hahaha…
Tiba-tiba dia menoleh ke arah kami. whattt the…?? Aih, dia juga senyum—walau kami gak tahu pasti dia senyum ke siapa. Kemudian dia ngobrol bersama—setelah analisis mendalam kami simpulkan—ibunya. Tempat duduknya tepat berada di depan kami namun agak di seberang. Untuk memudahkan coba bayangkan arah jam 2.

Hujan masih turun seolah tak mau berhenti. Hujan membasahi jalan dan bunga-bunga di sekitar bandara. Hujan juga membasahi hati kami, membuatnya mekar bagai bunga yang indah. Beberapa bagian dari diri kami berloncatan kesana-kemari hingga kadang salah tingkah. Bagai prajurit yang diserang oleh badai perasaan, kami tak bisa menahan rasa untuk sekedar berbasa-basi atau minimal bertanya, “Hi…Assalamu’alaikum, boleh kenalan? Namanya siapa?”

Saya: Subhanallah, gumelis kacida...
ZP: Bahaya ini…bahaya…
Saya: Dunia persilatan gempar!!
ZP: Eksekusi saja gitu ini teh? (istilah ‘eksekusi’ sering kami gunakan untuk mengimplementasikan niat berkenalan. Percuma kan kalo niat doang :p )
Saya: Sok lah, niat tidak akan sempurna kecuali dilaksanakan. Anniyatu la tuqbalu illa bil’amali (hadits dhoif rowahu pribadi hihihiiii…)

Waktu menunjukkan pukul 13.05 dan ini berarti sudah dua jam delay. Saya lihat beberapa penumpang nampak bosan menunggu. Waktu itu masih ramai kasus Bibit-Chandra—sekarang juga masih hot. Tiba-tiba terdengar pengumuman bahwa pesawat masih akan delay sampai pukul 14.05. karena keterlambatan tersebut, pihak maskapai yang bersangkutan memberi kami kompensasi berupa snack.

Sembari ngantri snack, kami berspekulasi tentang gadis cantik tersebut.
Saya: Kalau dipikir-pikir dia mirip sama Nikita Willy ya
ZP: Ceuk saha? Lebih mirip Asmiranda lah
Saya: Nikita Willy, sok coba dicek
ZP: Asmiranda Ky. Cuma Asmiranda cilik. Eh, Asmiranda mini ketang
Asmiranda mini? Sounds good.

Sambil makan snack, saya berusaha untuk provoke ZP supaya gentle dan berani menghadapi gadis tersebut. Dengan beribu alasan saya tegaskan pentingnya mengenal lebih dekat tipe gadis seperti itu. Alasan pertama tentu saja cantik. Di dalam sebuah hadis, salah satu kriteria dalam memilih calon pendamping adalah ketampanan/kecantikan walaupun yang paling baik adalah mendasarkan pada agama. Tapi tetap saja cantik/tampan (fisik juga) menjadi sebuah pertimbangan. Kedua, dilihat dari segi fisik dan kelakuannya gadis tersebut nmpaknya masih SMA. Banyak orang mengatakan bahwa pasangan yang ideal adalah pasangan dimana laki-laki berusia lebih tua dari wanita. Perbedaan umur 3-5 tahun dianggap ideal. Ketiga, status ZP waktu itu masih single. So, tunggu apa lagi man??

Konsekuensi Kalau misalnya dia nggak berani dan cenderung pasif, saya yang akan take over haha…

Kali ini saya berniat jadi provokator saja karena ingat istri di rumah—kapan gue nikah?? I was in relationship with someone, that’s what I mean. Lalu, momen yang ditunggu pun datang. Karena tempat duduk yang tadi ditempati oleh gadis tersebut diambil alih orang lain, maka dia kebingungan mencari tempat duduk. Satu-satunya jajaran yang kosong adalah jajaran tempat duduk kami. jajaran ini hanya diisi oleh tiga orang—saya, ZP, dan orang entah siapa namanya. Tak lama kemudian gadis tersebut pindah ke belakang, ke jajaran kami, dia duduk sambil menebar senyum perlahan. Set, bagai anak kecil yang baru mendapat hadiah ulang tahun, bagai anak yang ketiban rezeki berkah dikhitan, dalam hati kami melonjak kegirangan. Nyawa kami berloncatan kesana-kemari. “ZP, Something happen! C’mon guys, lakukan pergerakan progresif! Hehe…” kata saya.

ZP yang dari tadi harap-harap cemas semakin bertambah cemasnya. Gadis yang dari tadi menjadi buah bibir tiba-tiba berada tepat di samping kami, hanya dibatasi satu kursi kosong.

Saya: Ayo, eksekusi langsung aja Pe…
ZP: Euhh…aduhh…itu..euhh…
Saya: …???

Mengapa seorang lelaki terlihat sangat gugup ketika bertemu dengan wanita? Dan mengapa wanita selalu bisa menyembunyikan perasaan seolah tak terjadi apa-apa? Untuk sementara itulah intisari yang bisa saya tangkap. Demi kelancaran dan suksesnya eksekusi, saya lebih baik permisi untuk ke toilet. Mungkin sehabis dari toilet plot cerita akan berubah.

Sepuluh menit berada dalam toilet bukan ide bagus. Namun demi kelancaran bersama, saya ikhlaskan diri untuk itu. Kemudian saya duduk di tempat semula dan menunggu kabar terbaru. Seharusnya, sebagai penggemar teknologi, ZP dapat memanfaatkan situs jejaring sosial semacam fb atau twitter untuk memohon saran jika terjebak dalam kondisi seperti ini. Tapi karena sudah nervous duluan, klaim teknologi yang bisa menyelesaikan masalah tidak teraplikasikan dengan baik. Walhasil, saya belum melihat ada tanda-tanda jalan cerita akan berubah. Keduanya masih asyik dengan pikiran masing-masing.

Saya: Target sudah dieksekusi?
ZP: Sedikit hehe…
Saya: Oh ya? Gimana…gimana…?
ZP: Cuma tanya aja, “Mau ke singapur?”
Saya: Terus?
ZP: dia ngangguk.
Saya: Terus?
ZP: Udah, itu doang
Saya: Gubrakkzzz!!!

Woalahhh…capek-capek saya ngungsi ke toilet berharap keajaiban terjadi. Nyatanya cuma gitu doang? Anak SD juga bisa kaleee…

Jam menunjukkan pukul 15.30 tepat saat terdengar pengumuman agar semua penumpang segera menuju pesawat. Setelah delay selama 4 ½ jam akhirnya kami mendapat kepastian untuk berangkat menuju Singapur. Delay yang cukup menguras kesabaran dan perasaan, terutama bagi ZP karena sampai saat ini belum berhasil melakukan pergerakan yang efektif. Pergerakan efektif yang saya maksud adalah minimal bisa tahu nama, nomer handphone, dan fb-nya. Karena tiga hal itu dirasa sudah cukup efektif untuk menyusun rencana selanjutnya. You know what I’m thinking about, rite?

Setelah masuk pesawat pun kami tak bisa menyembunyikan rasa penasaran. Untuk memastikan di kursi berapa gadis tersebut duduk, maka ZP permisi ke toilet. Saya tahu, dia tidak ada keperluan dengan toilet. Dia hanya memastikan—juga mencemaskan—di jajaran berapakah gadis tersebut duduk. Seorang lelaki kadang bersikap irasional ketika berhadapan dengan wanita, tak berdasar dengan mencemaskannya, dan bertindak tidak penting. Namun hal itu menjadi sirna ketika ZP berkata dengan sumringah, “Betul Ky, kursi 24 C di belakang hehe…”

Sayangnya walaupun sudah mendarat di Changi, tidak ada pergerakan efektif yang berarti. Satu-satunya kenangan terakhir bersama gadis tersebut adalah ketika kami berpisah saat hendak ke Terminal 2. Seperti biasa, gadis itu tersenyum pada kami berdua—walau sampai tulisan ini diturunkan keabsahannya kurang valid hehe—kemudian dia dan ibunya pergi menuju pintu keluar. ZP dengan ekspresi tegarnya hanya bisa berkata, “Kalau jodoh nggak kemana”. Komentar saya, “Kalau nggak diusahain sama aja bohong”.

Well, kesempatan sering tidak terduga cara dan datangnya. Benar, kesempatan sekecil apapun harus bisa dimaksimalkan dengan baik. Perbedaan pembalap pertama dan kedua dalam Moto GP hanya berbeda sepersekian detik, man. So, don’t waste your time and your effort much!

Semoga dengan kisah ini kita bisa lebih memahami #peribahasa gagal# yang berbunyi: Single itu prinsip, jomblo itu nasib :D


Gambar: www.deviantart.com

Monday, August 03, 2009

Sejenak Mengukur Malu


Mari kita menyanyi lagu kebebasan dengan atribut individualisme. Dimana saya dan kalian menjadi begitu berjarak satu sama lain, padahal kita dekat. Urus saja kepentingan kita masing-masing karena saling bantu hanya ada di pelajaran Kewarganegaraan—PPKN. Kita telah diajarkan untuk malu dari kecil—malu membantu, malu menolong, malu menyapa, malu berkenalan. Dan malu-malu yang lain jumlahnya masih banyak jika dirunut satu-persatu.

Wajar, sifat manusia mengenai malu memang ada. Coba periksa pada psikiater apakah kita masih mempunyai rasa malu atau tidak. Lalu tanyakan padanya berapa kadar malu yang kita punya sebagai manusia normal. Biasanya hal itu menghasilkan angka beberapa digit, semisal tes IQ yang bisa diukur dari angka dua digit sampai tiga digit. Jika angka dua digit katakanlah IQ kita 75, kita bukanlah orang jenius. Kita seperti Forrest Gump. Namun jika angka tiga digit katakanlah 130, kita disebut orang jenius karena tingkat kepintaran di atas rata-rata.

Masalahnya, saya tak pernah menjalani tes rasa malu. Saya tak tahu berapa kadar rasa malu yang saya punya. 50, 75, 80, 100, 120? Lalu, jika mungkin malu bisa diukur dengan angka seperti itu, apakah itu penting?

katakanlah rasa malu dianalogikan dengan IQ, namun menggunakan metode berbanding terbalik. Jika IQ angkanya semakin besar berarti semakin jenius, maka rasa malu adalah kebalikannya. Semakin besar angka yang kita peroleh dari rasa malu, maka kita menjadi cenderung autis. Namun jika angka yang kita peroleh semakin kecil, berarti kita (katakanlah) percaya diri.

Dan berbahagialah wahai psikiater yang bisa mengukur rasa malu, kalian akan sangat laku keras!



gambar: www.deviantart.com

Friday, July 24, 2009

TERIMA KASIH POWER RANGERS, BERUBAHLAH BAJA HITAM



Sore itu cerah, waktu yang tepat untuk keluar rumah dan bermain dengan yang lain. Riuh-gaduh anak-anak di depan rumah menggoda kami untuk bergabung. Celotehan mereka tak kuasa untuk dibendung. Apalagi mereka berencana untuk bermain permainan tradisional bernama gobag. Ah, semakin tak bisa kami tahan.

Sementara itu, bibi saya mengharuskan kami nonton siaran berita TVRI. Karena menurutnya di situ berisi pendidikan dan pengetahuan tentang banyak hal. Kalian mungkin akan sangat familiar dengan perjuangan heroik Yasser Arafat dengan PLO-nya, konflik Bosnia Herzegovina, Konflik Palestina, dan lain-lain. Atau mungkin kalian akan sangat mengingat penggalan bait lagu ini:

Garuda Pancasila
Akulah pendukungmu
Patriot Proklamasi
… (dst)


Bagi kami waktu itu, kami sangat kenyang menyanyikan lagu perjuangan tersebut. Pada zaman itu, anak seumuran saya sudah khatam di luar kepala. Pola indoktrinasi zaman orde baru dalam menanamkan rasa nasionalisme melalui lagu saya akui sangat hebat.

Kami bukannya tak mau menonton berita. Saya, adik, dan sepupu kadang bosan dengan berita dalam negeri yang tidak dinamis. Dimulai kunjungan presiden ke desa anu, lalu dalam tayangannya presiden Soeharto ikut dalam seremoni memotong padi. Berita dalam negeri relative berita yang stabil.

Saat ini kami punya kebutuhan mendesak. Kebutuhan kami adalah hiburan. Kami tidak mengerti mengapa konflik Palestina-Israel terjadi, kami mana tahu konflik Bosnia dan Afganistan, kami hanya tahu sekjen PBB waktu itu adalah Kofi Anan. Biarlah semua permasalahan yang terjadi di sana diselesaikan oleh orang dewasa yang konotasinya mendekati kata ‘tua’. Kami hanya butuh bermain dan hiburan! Kami sebagai anak kecil waktu itu punya hak menikmatinya!

“Ki, abis maen gobag pasti tuh anak-anak di depan nonton Baja Hitam” Kata Agung, sepupu saya.
“Bener, Gung. Ikut nonton, yuk!” kata saya bersemangat.
“Tapi mesti minta izin dulu. Tapi pasti nggak diizinin”

Kami hanya diam sembari memutar otak. Bagaimana caranya kami bias nonton Ksatria Baja Hitam agar bisa memuaskan rasa penasaran. Tentu saja kita penasaran siapa musuh selanjutnya, bagaimana jalan ceritanya, apa kabar Gorgom dan Maribaron?

Waktu kecil kami agak tidak leluasa nonton film seperti itu. Bibi saya berendapat bahwa film seperti itu hanya akan mengacaukan imajinasi anak-anak. Atau ada juga alasan lain bahwa film-film semacam itu membuat kita malas belajar. Maka dari itu bibi sangat sering tidak mengizinkan kami menonton film ksatria Baja Hitam dan sejenisnya. Apalagi waktu itu televis di rumah tidak men-support channel RCTI. Jelas saja penderitaan kami bertambah.

Apalagi kalau hari minggu, anak-anak pasti dimanjakan oleh isi programnya. Doraemon dan Power Rangers, dua serial yang selalu kami tunggu. Di depan rumah kami ada rumah tetangga yang televisinya bagus dan gambarnya jernih. Maka dari itu, banyak anak-anak yang sering ikut nonton di situ. Setiap sore rumah tetangga saya pasti penuh sesak oleh anak-anak. Hari minggu apalagi, sampai meluber keluar. Oh, terima kasih wahai tetangga yang baik hati!

Namun sekali lagi, kami selalu terbentur dengan aturan di rumah nenek waktu itu. Bahwa kami sangat tidak leluasa menonton film semacam itu. Kami sempat beberapa kali kabur dan menonton di tetangga depan rumah. Namun selepas itu kami pasti dimarahi dan dinasehati. Dalam hati saya tak suka, namun apa daya. Kalau tidak boleh ya terpaksa kami harus menonton berita lagi dan lagi. Berita yang itu lagi-itu lagi. Monoton. Statis.

Berbahagialah kalian yang masa kecilnya mempunyai banyak kesempatan nonton film kartun dan serial jagoan!

* * *

Jargon jagoan dulu selalu kami ingat: membela keadilan, membasmi kejahatan. Ah, indah sekali kata-kata itu. Ketika kami sebagai anak kecil sering disodorkan pada hal hitam-putih, baik-jahat. Dan anak-anak dulu selalu terobsesi untuk menjadi sang pahlawan. Ciri-ciri pahlawan biasanya diinterpretasikan dengan badan gagah, wajah ganteng atau cantik, dandanan rapi, disiplin. Maka jangan heran kalau teman-teman saya ditanya apa cita-citanya, maka biasanya ada dua hal: polisi atau ABRI.

Sekarang film kartun atau serial jagoan konfliknya sangatlah kompleks. Kebenaran tidak selalu harus menang. Kebenaran hanyalah sebuah hal yang relatif, dan ujung-ujungnya tergantng selera pasar. Benar atau tidak ya terserah penonton. Contoh film kartun Death Note. Tokoh utama dalam kartun Jepang ini terlihat sangat baik dan pintar. Namun ternyata dia orang paling kejam yang bisa membunuh orang dengan menuliskan namanya saja di buku catatan kematian.

Saya tidak bilang itu tidak bagus, namun agak ‘berbeda’ dengan film anak-anak zaman saya dulu. Dulu kita hanya disuguhi jalan ‘lurus, benar, dan monoton’ dalam film anak. Hari ini, bahkan anak kecilpun bebas memilih film dengan jalan ‘benar, jahat, dan unik’. Jika bosan Naruto, masih ada Bleach. Kalau bosan Power Rangers tinggal pindah channel. Banyak versi film anak dengan konflik yang sangat kompleks.

Nostalgia. Saya hanya ingin nostalgia saja. Saya senang pernah hidup di zaman itu, zaman yang mengharuskan saya berjuang keras hanya untuk sekedar nonton film anak. Zaman yang penuh dengan keceriaan dunia anak-anak. Zaman dimana anak-anak masih sangat ‘dimanja’ oleh televis dengan film dan lagu anak. Dimana anak-anak tidak menjadi dewasa sebelum waktunya.

Selamat hari anak bagi yang merasa pernah menjadi anak-anak. Saya yakin masa kecil kalian indah dan menyenangkan.


Gambar: www.deviantart.com

Wednesday, July 22, 2009

Nulis Lagi

Kenapa berhenti nulis? Males.

Beberapa bulan ini saya jarang upload tulisan ke blog ini. Mungkin hampir 2-3 bulan nggak posting lagi. Banyak yang tanya kenapa nggak nulis lagi? Saya bilang saya tetep nulis kok. Cuma nggak diposting di blog.

Hmmm...zaman udah serba internet. Seseorang aktif nulis atau nggak bisa dilihat dari blognya. Kalo dia sering update, dia salah seorang yang aktif nulis. Tapi kalo jarang berarti dia pasif. Lalu saya? blogger aktif, yang update-nya kadang satu atau dua bulan sekali hehe...

Pengen ganti tampilan dan lay out akhirnya jadi juga. Semoga tulisan saya juga lebih berisi dan berbeda.

Tuesday, July 21, 2009

Haruskah Dibandingkan?


Membandingkan satu dengan yang lain. Aku rindu kata-kata ini, sekaligus sangat membencinya. Rindu karena aku bisa mengetahui berapa nilai diriku dibanding orang lain, berapa penghasilan orang lain dibandingkan diriku, berapa harga diriku dibanding orang lain. Aku benci apabila ada orang lain yang bisa melakukan lebih dariku, benci untuk memikirkannya, benci menjadi terbebani, benci untuk menjadi seperti orang lain yang aku tak bisa.

Padahal hal itu sangat relatif. Mungkin karena orang lain berpikir bahwa finansial adalah sebuah tolak ukur tak resmi yang selalu menjadi acuan, maka tingkat kesuksesan seseorang dilihat dari jumlah pendapatannya. Mungkin juga bahwa tingkat kesuksesan seseorang dilihat dari jabatan, setinggi dia menjabat setimpal dia mendapat. Yah, aku sadar bahwa ini sangat relatif bahkan ukuran kaya sekalipun. Kaya juga relatif, mahal juga relatif, semua serba relatif. Namun rasanya relatif telah berubah menjadi sesuatu yang pasti dalam masalah ini.

Yang bilang bahwa kau sukses karena kau kaya adalah orang yang bilang pada konteks zaman itu. Apakah hal itu akan menjadi sebuah nilai yang besar setelah zamanmu lewat? Aku tak tahu.

Namun setidaknya kau menciptakan sejarah. Karena pada dasarnya manusia ingin selalu dikenal dan dikenang sebagai seseorang. Aku juga begitu. Ingin dikenal banyak orang dan dikenang kalau sudah lewat masanya. Perasaanku begitu menggebu ketika harus berbicara dan menjelaskan sesuatu di depan orang lain. Entah apa yang merasuki diriku, yang pasti banyak motif. Ingin dikenal sebagai pembicara yang bagus, dikenal sebagai orang yang pintar bicara juga pintar ngobrol—untuk yang satu ini sangat alamiah, tak perlu bakat khusus.

Untuk menjadi seseorang yang dikenal nampaknya tidak mudah. Intinya lumayan sulit. Menjadi terkenal kau butuh jam terbang lebih tinggi dari biasanya. Menjadi terkenal kau harus meluangkan waktumu dan bergulat dengan sesuatu yang kau senangi—jika mungkin yang kau benci. Ah, menjadi terkenal nampaknya menjadi sebuah beban sampai tulisan ini diturunkan.

Well, ini berbicara tentang saya. Dimana selalu berkutat dengan dunia tanda tanya. Banyak hal yang selalu kutanyakan setiap hari dalam pikiran ini. Dan anehnya, pikiranku seolah tak pernah menyisakan ruang penuh bagi banyak pertanyaan. Selalu ada ruang yang disediakan untuk berpusing-pusing ria. Semakin kau berpikir bahwa hidup ini cukup, tak perlu dipertanyakan, semakin bertubi pertanyaan itu menyerang.

Dan pertanyaan saya kali ini adalah, haruskah dibandingkan?

Jika ada psikiater yang dengan sukarela mau memeriksa kejiwaanku, nampaknya aku akan masuk dalam daftar personal terganggu (DPT). Ya, terganggu secara kejiwaan. Adakah istilah yang menggambarkan bahwa seseorang selalu merasa tidak cukup puas dengan dirinya sendiri ketika melihat apa yang orang lain capai? Mungkinkah ini tetangga dekatnya kleptomania atau anoreksia? Apakah ini masuk dalam iri hati dalam istilah agama? Atau apa itu namanya?

Dia terkenal aku tidak. Aku terkenal dia lebih jauh terkenal. Dia kaya aku miskin. Aku kaya dia lebih kaya satu rupiah. Dia punya ini aku punya itu. Mengapa aku tidak punya ini tetapi punya itu? Mengapa masa laluku seperti ini dan masa lalunya seperti itu? Kalimat-kalimat semacam itu. Apakah kalian pernah mengalaminya? Atau mungkin sering? Aku sering.

Ya, anak SD pun tahu kalau kegiatan ini bernama membandingkan dua objek yang sangat berbeda. Permasalahan yang berbeda. Yang jadi persoalan adalah ketika hal ini selalu dipermasalahkan.

Mempermasalahkan kualitas, bukan kuantitas. Saat ini saya mempermasalahkan kualitas diri saya dibanding orang lain. Karena saya berangkat dari suatu teori dasar bahwa dalam memperdalam sesuatu bernama ilmu kita harus mendahulukan prinsip fastabiqul khairat—berlomba/berkompetisi dalam kebaikan—daripada prinsip qona’ah—merasa cukup dengan apa yang ada.

Dan pada satu kesempatan, saya diberikan sebuah perumpamaan. Sebuah analogi tentang masalah perbandingan ini. Ketika saya berkumpul dengan seorang teman dan membicarakan berbagai persoalan menarik. Salah satu persoalan yang kami bahas adalah tentang harga gadget yang akhir-akhir ini harganya turun dengan sangat tajam.

‘Aku beli gadget ini sekitar tiga bulan yang lalu. Sekarang harga gress-nya anjlok banget! Turun tujuh ratus ribu, man!’

‘Oh, ya?’

‘Beneran. Temen aku beli gadget merek T yang tadinya harga tujuh jutaan, dia beli Cuma lima koma lima juta kemaren. Parah banget, kan?’

‘Ah, buat saya itu gak jadi soal. Lagian kalau terus ngebandingin harga kan repot. Bisa-bisa nggak jadi beli karena nungguin harga turun’

‘…’

Memang, ini percakapan sederhana. Namun saya tidak bisa melewatkan. Ada sesuatu yang seolah tersirat dan memberi tanda pada saya bahwa ada sesuatu yang harus saya ambil dari percakapan ini. Entah apa, namun saya memikirkannya terus dan terus.

Saya mengerti satu hal, bahwa kita bukan mencari harga terendah demi kepuasan tertinggi. Bukan pula prinsip ekonomi yang mengatakan bahwa pengeluaran sekecil-kecilnya demi pendapatan sebesar-besarnya. Di sini saya mulai sadar bahwa intinya kita harus mengambil keputusan, apapun itu. Entah ketika harga tinggi atau harga turun, intinya kita mesti memutuskan untuk beli gadget tersebut. Karena tujuan dasar kita bukan menunggu harga turun ke dasar yang paling rendah, tujuan kita adalah memiliki gadget tersebut untuk dipergunakan.

Jika kita terus menerus berpikir dan menunggu karena pertimbangan harga, di Mall A harganya segini dan Mall B segitu, lalu berapa harga di Mall C ya? Apa lebih murah atau lebih mahal? Kalau misalnya lebih murah, berarti kemungkinan besar ada Mall yang bisa ngasih lebih murah lagi, tapi dimana ya? Ah, sebelum dapetin Mall yang paling murah mending browsing dulu, siapa tau ada yang jual di internet.

Terus dan terus pikiran kita diarahkan pada sebuah polemik harga karena perbandingan harga yang satu dan lainnya hanya beda tipis. Padahal tujuan awal kita adalah memiliki gadget untuk dipergunakan. Pada dasarnya, murah atau mahal bukanlah sebuah masalah. Yang menjadi masalah adalah selisih harga yang beda-beda tipis.

Hidup kita bukan diarahkan untuk melibatkan diri dalam polemik, justru diharuskan untuk memutuskan keluar dari polemik.

Ah, perbandingan. Saya pun sadar kalau saya tak seharusnya dibanding-bandingkan atau membanding-bandingkan diri saya. Bukannya saya tidak mau punya contoh. Saya hanya berpikir bahwa ini bukan lagi sebuah perasaan yang baik ketika kau menjadi terbebani oleh sesuatu. Maka saya harus putuskan tugas saya bukan membandingkan, tugas saya adalah melakukan apa yang saya sukai.

Jika terus dan terus melibatkan diri dalam polemik, kapan saya bisa bekerja? Kapan saya bisa kreatif? Saya rasa sudah cukup, saya ingin bernafas lega dengan tidak dibandingkan atau membandingkan diri saya dengan seseorang. Banyak hal terbengkalai dan harus segera saya selesaikan.

Jika saat ini kalian masih menunggu harga Blackberry jatuh di pasaran, segeralah ambil keputusan. Jika kalian masih menunggu harga Vaio P-series menjadi sangat rasional—yang biasanya dikonotasikan lebih murah—ambil keputusan sekarang. Kelak semuanya akan menjadi sangat relatif, kau bisa menyebutnya mahal namun belum tentu orang lain. Ambil keputusan: YA atau TIDAK.

Wednesday, April 01, 2009

Pico Sejauh Ini...




Setelah kemarin sempat nulis ‘working with my Pico’, dan itu pun reviewnya belum fix benar, maka sekarang saya akan tulis lagi review selanjutnya. Posting yang kemarin bisa disebut Developing Pico, maka sekarang saya sebut sebagai Developed Pico hehe...
Setelah saya sempat menyesal tidak bisa memboyong seri DJM 616 dan terpaksa harus mengikhlaskan membeli seri DJJ 615, rasanya saya harus tarik ucapan saya. Karena sejauh ini saya puas banget sama kinerja Pico saya ini. Setelah dicoba oprek sana-sini, coba wi-fi, sound, kompatibel nggaknya sama perangkat lain, bahkan sampai harus digeber berjam-jam juga siap. Kalau misalnya dikomparasi sama HP Mininote 2133 juga berani lah sekarang mah hehe…

Mulai dari wi-fi deh. Pertama kali daftar hotspot di kampus kok wi-fi Pico nggak bisa connect. Saya bingung dan mulai berprasangka buruk. Tapi setelah Tanya ke dealer Axioo dan diperiksa di sana ternyata ada dua driver wi-fi yang terinstal, hal ini menyebabkan crash atau tabrakan dua software ketika wi-fi Pico diaktifkan. Terpaksa harus install ulang di dealer Axioo (gratis pula plus bonus aplikasi lainnya) dan menunggu satu hari. Dan setelah beres, saya coba hotspotan di kampus. Wuiihh,,,keren pisan wi-fi-nya! Kenceng banget! Mau download ini-itu gampang dan lumayan cepet. Buka fb, buka blog, download adobe, download mp3, lumayan cepet deh. Padahal nggak pake software tambahan yang biasa diunduh dari situs Axioo. Karena yang saya baca di beberapa review, ada beberapa pengguna Pico yang mesti download dulu driver khusus di situs axioo.

Kedua masalah sound. Suara yang dihasilkan Pico saya ini terbilang cukup jernih. Walaupun tidak keras, tapi suara yang dihasilkan memang cukup jernih. Beberapa temen saya bilang kayak gitu.

Ketiga tentang distribusi panas. Karena beda desain sama DJM 616, maka penempatan hardware juga pasti berbeda. Distribusi panas Pico saya kurang bagus. Pico saya termasuk netbook yang cepat panas, terutama di bagian bawah. Maka mesti pake blower tambahan kalau tidak ingin cepat panas. Namun sayangnya pas pake blower tambahan, distribusi panas di bawah malah naik ke atas. Tepatnya ke keyboard bagian kiri. Cukup bikin nggak nyaman juga sih.

Keempat masalah aplikasi. Saya udah instal corel draw X3, adobe photoshop CS2, adobe reader 9, dan beberapa program yang dirasa ‘berat’. Sejauh ini berjalan baik-baik saja, tidak ada masalah. Saya pernah coba instal corel draw X4, tapi buat bukanya perlu loading yang lumayan lama. Ya sudah, saya ganti lagi saja dengan Corel Draw X3. Lalu saya juga baru ubah tampilan windows dengan XP Black. Tidak ganti OS sih, hanya tampilannya saja. Saya pake Bricopack vista inspirate 2. So far so good. Tampilan lebih hidup. Mungkin saya akan ganti OS juga, atau kalau tidak paling pake Bricopack lagi dengan tampilan windows 7 terbaru. Walaupun masih sebatas versi betha. Saya penasaran gimana tampilannya.

Kelima masalah bobot. Memang tidak ada masalah dalam bobot, cukup ringan daripada laptop. Cuma kenapa ya, atau memang karena udah biasa atau body saya yang terlalu kecil, kok kesini-sini kerasanya berat juga ya? Hehe…

Fyi, setiap hari rabu netbook saya pasti jadi langganan dosen auditing. Karena kenapa? Netbook saya selalu klop dengan proyektor. Pasang konektor layar dan tekan Fn+F4 lalu siap presentasi. Padahal dosen saya bawa Compaq Presario tapi nggak bisa connect. Bahkan dosen auditing curhat ke saya kalau dua buah laptop miliknya nggak bisa connect sama proyektor setiap kali ngajar auditing. Apalagi rabu kemarin sudah dua laptop teman saya, salah satunya pake Mininote 2133, juga nggak bisa display ke proyektor. Dan ujung-ujungnya, netbook saya yang harus ambil alih hehe…
Masalahnya sih sederhana. Laptop dosen dan dua teman saya tidak ada aplikasi Intel R Graphics media Accelerator, jadi susah nyambung ke proyektor.

Tapi sehabis dipake ke proyektor, fungsi OSD (kayak software buat ngatur-ngatur panel di keyboard) jadi gak jalan. Jadi mesti install manual lagi. Nah ini dia repotnya. Mungkin crash kali ya pas pasang kabel konektor proyektor? Ada yang bisa kasih tahu?

Keenam masalah keyboard. Jujur, keyboard-nya terlalu kecil. Leutik pisan euy! Jadi kagok buat ngetik, apalagi kalau harus ngerjain tugas yang panjang. Bheuu…salah melulu kalau ngetik.

Tapi nggak apa-apa. Ketutup sama harddisk 250 GB kok. Saya juga bingung mau diisi apa aja harddisk segede gini. Total yang baru saya pake buat semuanya baru sekitar 15 GB. Berarti masih nyisa banyak hehe… ada yang mau nyumbang aplikasi dan mp3?


Gambar: www.kaskus.net

Friday, March 20, 2009

Pencapaian



Hari ini saya melamun, ketika membeli sop kaki sapi kesukaan ayah saya, di sebuah tempat di dekat rumah. Jaraknya hanya sekitar 200 meter dari rumah. Dan saya berjalan kaki sambil sesekali memandangi lapang volley yang dulu menjadi tempat favorit saya untuk main bola bersama teman-teman. Di lapangan bersejarah itu saya sering mencetak gol kemenangan. Di lapang itu pula ibu-ibu gila volley berkumpul saban sore hari. Tahukah kalian, lapangan ini adalah lapangan serbaguna tempat semua permainan berkumpul?

Atau rumah Amoed, tetangga dan sohib saya, yang dulu selalu menjadi basecamp jika hendak membicarakan hal yang menurut kami penting dalam sudut pandang anak SD. Di situ, di depan rumahnya kami biasa bermain kerambol, main nintendo (terutama Mario Bross), makan, membahas topic hangat masa SD, dan lainnya.

Ternyata semua berubah dan terasa cepat. Saya seolah melakukan lompatan kuantum, padahal baru kemarin rasanya saya jadi anak SD. Dan hari ini saya jadi mahasiswa, anak kuliahan.

Mungkin tempat kami tidak berubah. Rumah saya, rumah Amoed, lapang, posisinya tidak berubah sama sekali. Kami tetap tinggal di situ. Namun, ada suasana yang hilang, suasana yang selalu saya rindukan jika berkumpul dengan mereka. Suasana itu tidak saya dapatkan sekarang. Mungkin memang zaman, atau mungkin sudah seharusnya hilang karena takdir. Saya tak tahu. Yang pasti saya merindukan suasana itu, suasana khas dimana hanya kami yang tahu. Suasana yang menyatukan kami sebagai tetangga.

“Pesen apa mas?” Tanya pedagang.
“Oh, saya pesen sop kaki sapi satu porsi”.


Saya perhatikan si pedagang. Saya berpikir dan bertanya, apa dia nyaman dengan pekerjaannya? Setiap hari bergulat dengan kaki sapi dan kambing, bau daging, letupan kuah sop, dan tutup larut malam. Apa dia juga cukup dengan gaji yang didapat? Bisakah gaji itu mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya? Pertanyaan saya mungkin penuh dengan keraguan. Tetapi itulah faktanya.

Tadi siang, saat saya dan teman-teman berkumpul di kampus, ada teman yang mengeluhkan sesuatu. Dia mengungkapkannya secara verbal, walau saya tahu keluhan itu sangat mewakili perasaan teman-teman saya yang lain. Atau mungkin mewakili perasaan kita semua?

“Naha hirup urang teh kieu-kieu wae? Euweuh perobahan…”

Dia mengeluhkan hidup yang seolah berjalan datar, statis, tak ada perubahan dalam hidupnya. Setiap hari dimulai serta diakhiri dengan rutinitas yang sama. pagi pergi ke kampus, masuk jam kuliah, nongkrong, setelah itu pulang. Skema itu terus berulang dan berulang. Seperti sebuah siklus, dia dimulai dan berakhir di tempat yang sama.
Teman saya yang lain mengeluhkan kondisi dirinya saat ini. Dimana setelah putus dari kekasihnya, seolah dunia kiamat. Saya tahu dia mencoba tersenyum dan bersemangat menghadapi hari, tapi nampaknya luka asmara terlalu sakit untuk ditutupi. Entahlah, dia mencoba sekuat tenaga untuk lepas dari belenggu dan bayang-bayang bersama mantan kekasihnya. Namun sekuat dia ingin melepas, semakin perih rasanya.

Namun bukan masalah itu yang saya tangkap. Sebenarnya mereka punya obsesi. Mereka ingin memulai usaha dan menghasilkan banyak uang. Mereka berdua sudah bosan hidup begitu-begitu saja, selalu hidup di alam rencana.

Persoalan menjadi rumit ketika mereka ingin berubah, bermunculan lah masalah pelik. Dan seperti biasa, sebagai manusia normal, mereka—saya juga sering—mengeluh. Sebagai manusia yang didera berbagai masalah, mungkin wajar jika saya atau kalian mengeluh. Namun menjadi tidak wajar jika hal itu berlangsung terus menerus dengan mengungkap berbagai macam apologi atas ketidakmampuan. Ya, kadang selalu bersembunyi dibalik ketidakmampuan.

Ini yang menjadi masalah serius buat saya. Saya memandang masalah mereka bukanlah cinta atau perasaan bahwa hidup ini tidak berubah. Buat saya, masalah itu penting. Semakin ruwet masalahnya, semakin tinggi kualitas manusia tersebut. Bukankah untuk naik level game kamu harus menghadapi musuh yang terkuat? Bukankah Ksatria Baja Hitam harus bertarung susah payah melawan Gorgom untuk kemudian menjadi Ksatria Baja Hitam RX?

Masalah sebenarnya adalah perubahan. Mau berubah atau tidak. Itu pilihannya.

Saat ini posisi saya mungkin hidup dalam bayang-bayang orang lain. Simpelnya seperti ini: saya ingin mobil ini, saya ingin motor itu, saya ingin punya rumah dengan tipe tertentu, saya ingin istri cantik, dan ekspektasi lain yang saya inginkan. Saya masih memimpikannya, saya masih mengusahakannya. Sedangkan di sisi lain, ada orang yang sudah lebih dulu memiliki segala yang saya inginkan.

Jika saya terus berkutat di alam rencana, saya tak pernah bisa menjadi apa yang saya inginkan. Maka saya memilih tak ingin terlalu berteori, tak ingin terlalu diam memikirkan hidup, tak ingin semua ini sia-sia. Saya mungkin lelah dengan semuanya, tapi lelah saya akan menghasilkan sesuatu. Itu standar hidup yang saya anut saat ini.

Saya menemukan dua hal aneh hari ini. Yaitu banyak orang takut menjadi miskin, namun tak sedikit pula orang takut menjadi kaya. Kita bekerja, kita belajar, kita beraktifitas untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Sebisa mungkin menghindari kemiskinan menuju kesejahteraan. Namun, mengapa banyak orang juga takut menjadi kaya? Takut kemalingan, takut diserang penyakit ‘orang kaya’ semisal kanker, bahkan takut mempertanggungjawabkannya di akhirat. Teman saya takut menjadi orang kayak arena katanya tanggung jawabnya besar. Teman saya yang lain takut diserang penyakit kanker, stroke, dan penyakit mematikan lain. Lalu saya tanya,” jika kamu sudah kaya, masihkah hal itu dipermasalahkan?”

Teman saya hanya diam dengan senyum simpul.

Persoalan mereka adalah mempermasalahkan sesuatu yang belum terjadi. Sedangkan permasalahan saya adalah menjadikan persoalan itu terjadi. Kita berbeda dalam hal yang sangat dasar. Dan ini akan menjadi sangat penting.

Saya percaya pada sebuah pencapaian. Bahwa kualitas seseorang itu akan menjadi berbeda dengan orang lain dilihat dari pencapaian yang didapat. Seorang yang mencapai derajat sufi pasti berbeda kualitas keimanannya dengan muslim biasa. Atau sopir bus, kualitas hidupnya pasti berbeda dengan ‘sopir pesawat’—walaupun jabatan keduanya sama-sama sopir.

Pencapaian berarti kita melewati tahapan hidup yang sangat penting demi merubah kualitas diri. Kita terus berubah dan mencari. Semakin tinggi pencapaian, semakin bagus kualitas hidup kita. Semakin banyak permasalahan, semakin banyak kita belajar. Semakin banyak belajar, semakin banyak kau tahu.
* * *

“Ini sopnya kang” Kata si pedagang.
“Berapa semuanya?”
“Lima belas ribu, kang”


Saya bergegas pulang, ayah saya sudah menunggu dari tadi. Ah, kenapa saya jadi mengkhawatirkan nasib si pedagang? Apa kekhawatiran saya mewakili nasib si pedagang? Mengapa saya jadi mempermasalahkan sesuatu yang saya tidak alami? Hehe…


Gambar: www.agylardi.wordpress.com